top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Tulus Berbagi Cinta di Hari Kasih Sayang untuk Orang dengan TBC


Dari kiri ke kanan: Thea Hutanamon, Budi Hermawan, dr. Yulius N. Sumarli, Kani Dwiharyani

Jakarta - Dalam rangka memperingati Hari Kasih Sayang Sedunia, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) melaksanakan kegiatan Media Roundtable bertajuk “TBC: Tulus Berbagi Cinta” dengan topik perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) pada orang dengan TBC pada Selasa, 14 Februari 2023 di Manhattan Hotel pukul 10.00-13.00 WIB. Acara tersebut dihadiri oleh lima editor dan jurnalis media nasional. Pertemuan ini dilakukan untuk meningkatkan perhatian media terkait perspektif HAM serta gender dalam upaya penanggulangan TBC.


Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan menular melalui udara. Indonesia adalah negara kedua dengan jumlah orang sakit TBC tertinggi di dunia setelah India (WHO, 2022). Diperkirakan terdapat 969.000 orang sakit TBC pada tahun 2022, 717.941 orang diantaranya telah ternotifikasi ke Kementerian Kesehatan, artinya masih terdapat 251.059 orang dengan TBC yang belum diobati sehingga tetap dapat menularkan bakteri ke orang lain. Salah satu tantangan yang menghambat orang dengan gejala melakukan pemeriksaan ke layanan kesehatan adalah stigma yang melekat pada TBC. Dalam pembukaan kegiatan ini, Direktur Eksekutif STPI, Henry Diatmo menyampaikan, “Saya berharap dari pertemuan ini, media dapat menilik isu TBC dari perspektif HAM. Rekan-rekan jurnalis dapat membantu menyuarakan kepada masyarakat untuk mengasihi sesamanya yang sedang sakit TBC atau mempunyai keluarga yang sedang sakit TBC. ”


Bapak Budi Hermawan selaku Direktur Eksekutif Perhimpunan Organisasi Pasienenyintas (POP) TB Indonesia menerangkan penyakit kedua orang dengan TBC adalah stigma dan diskriminasi. Terdapat banyak faktor penyebab timbulnya stigma dan diskriminasi pada orang dengan TBC. Salah satunya adalah minimnya pengetahuan seputar TBC. “Stigma dan diskriminasi ini berbanding lurus dengan pengetahuan. Disaat seseorang belum paham secara lengkap TBC, maka semakin tinggi stigma dan diskriminasi orang tersebut terhadap pasien TBC”, tambahnya.


Permasalahan stigma dan diskriminasi TBC juga terekam dalam laportbc.id, sebuah wadah digital untuk monitoring implementasi penanggulangan TBC. Wadah tersebut diinisiasi oleh organisasi berbasis komunitas seperti POP TB dan berhasil merekam 45% aduan seputar stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan TBC, 25% keluhan terhadap akses layanan, 10% keluhan terhadap enabler dan 20% konseling bagi pasien TBC.


Dalam Media Roundtable, Thea Hutanamon, Partnership and Development Manager STPI, menjelaskan tentang tantangan dan peluang dalam upaya mentransformasi penanggulangan TBC yang berperspektif HAM dan gender. Pertama, Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang TBC dan hak-nya perlu disampaikan secara lebih masif dan efektif misalnya dengan mengiklankan konten-konten TBC serta akun media sosial pemerintah secara lebih rutin dan intensif. Kedua, penanggulangan TBC yang berbasis HAM berarti adanya upaya untuk meningkatkan akses layanan bantuan hukum bagi pasien TBC jika mengalami stigma, diskriminasi, dan pelanggaran hak.


Selain itu, diperlukan koordinasi lintas kementerian untuk meningkatkan kesadaran TBC kepada aktor-aktor di sektor hukum untuk mempertimbangkan aspek kesehatan dalam proses hukum, misalnya seperti overcrowding dan pencegahan dan pengendalian infeksi pada saat penahanan. Ketiga, upaya membangun lingkungan yang kondusif untuk mengakhiri TBC perlu didukung dengan pendanaan domestik untuk organisasi masyarakat sipil dan komunitas melakukan advokasi mengatasi hambatan-hambatan struktural terkait TBC. Keempat, pelibatan OMS dan komunitas yang bermakna membutuhkan peningkatan literasi tentang pengobatan dan dukungan akses obat-obatan yang terjangkau. Kelima, penanggulangan TBC yang berbasis HAM juga membutuhkan perspektif gender dengan mainstreaming gender pada penanggulangan TBC untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Foto bersama peserta dan narasumber

dr. Yulius N. Sumarli, S.H., MARS selaku Koordinator Poliklinik Rutan Kelas 1 Cipinang sebagai narasumber ketiga memberikan gambaran bagaimana Pemerintah telah melindungi HAM orang dengan TBC di Rumah Tahanan (Rutan) negara kelas 1 Cipinang. Dalam memastikan setiap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sehat, sebelum masuk rutan dilakukan proses skrining TBC, diberikan masker bila ada yang batuk dan dilakukan edukasi TB-HIV. “Apabila terdapat gejala seputar TBC seperti batuk berdahak lebih dari 2 minggu, keringat dingin di malam hari dan penurunan berat badan, maka, akan dilakukan isolasi di ruang isolasi sambil menunggu hasil pemeriksaan dahak dan saat pengobatan dua minggu pertama untuk mencegah penularan yang meluas,” jelasnya.


Selain itu, Rutan kelas 1 Cipinang juga memiliki program Save Our Soul Rutan Cipinang (SOS Ruci) yang merupakan upaya pemberdayaan WBP dalam menanggulangi masalah kesehatan di Rutan Kelas I Cipinang. Terdapat 26 orang yang dibagi dalam 3 regu untuk bertugas pada 4 blok hunian selama 24 jam selama seminggu. Dalam Ruci (Rutan Cipinang) terdapat 10 penyakit terbanyak yang sering dialami oleh WBP, salah satunya adalah penyakit pernapasan yang berada pada posisi ke-2 setelah scabies. Sedangkan, jumlah orang dengan TBC dalam pengobatan adalah 71 orang di tahun 2022.


Keluh kesah yang dialami oleh para pimpinan di Rutan Cipinang sendiri adalah padatnya hunian WBP. “Satu ruangan yang seharusnya diisi 7 orang ini bisa diisi sampai 20 orang, bisa dibayangkan sangat sempit sekali pergerakan WBP”, pungkas dr. Yulius N. Sumarli, S.H., MARS. Kondisi tersebut sangat membahayakan WBP karena apabila terdapat 1 pasien TBC yang batuk dalam 1 ruangan tersebut maka bakteri bisa menyebar ke WBP lain yang sehat dan memperluas infeksi TBC.


“Satu-satunya obat untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi pada Orang dengan TBC adalah memberikan pemahaman seputar TBC secara komprehensif”, terang Budi Hermawan pada sesi tanya jawab. Media juga bisa berperan dengan cara membuat pemberitaan seputar TBC dari sisi HAM karena penanggulangan TBC berbasis HAM tidak hanya melihat dari segi perawatan dan pengobatan saja. Namun, juga dari sisi sosial dan kemanusiaan yang harus bisa dihilangkan stigma dan diskriminasi negatif yang beredar.


Penanggulangan TBC berbasis HAM sendiri sudah mulai digalakkan melalui komitmen kepala negara untuk mencapai target-target dalam Deklarasi Politik PBB 2018. Ada berbagai ketentuan dari deklarasi politik tersebut yang bertujuan untuk mengatasi masalah dan tantangan terkait hak asasi manusia dalam penanggulangan TBC nasional, salah satu dari banyak contohnya adalah pada paragraf 14 yang menegaskan bahwa semua orang yang terkena dampak TBC memerlukan pencegahan, diagnosis, pengobatan, pengelolaan efek samping, dan perawatan yang berpusat pada masyarakat yang terintegrasi, serta dukungan psikososial, nutrisi dan sosial ekonomi untuk pengobatan yang berhasil, termasuk untuk mengurangi stigma dan diskriminasi.


50 tampilan0 komentar

Comments


Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page