TITIK TERENDAH
- Stop TB Partnership ID
- 1 hari yang lalu
- 3 menit membaca

Aku adalah seorang guru, yang ditempatkan jauh dari rumah — di sebuah pulau kecil yang hanya bisa dijangkau dengan perahu selama dua jam dari kota. Pulau itu sederhana: ikannya melimpah, penduduknya ramah, dan guru masih dihormati. Tapi di balik keindahan itu, ada kesulitan yang tak terlihat — air bersih yang langka harus diimpor dari kampung sebelah, listrik yang tak tersedia sepanjang hari sehingga warga hanya menggunakan genset, dan fasilitas kesehatan yang sangat terbatas.
Singkat cerita aku menggunakan air sumur untuk memasak, berpikir bahwa panas api akan mensterilkan segalanya. Aku menjalani tugas ganda — mengajar sekaligus menjadi bendahara dana rutin sekolah. Setiap dua minggu, aku harus berlayar ke kota untuk mengurus pencairan dan laporan.
Sampai suatu hari, tahun 2012, aku mulai batuk. Biasa saja, pikirku. Tapi rasa nyeri menusuk di dada kiri membuatku gelisah. Aku pergi ke puskesmas terdekat — yang saat itu hanya punya fasilitas seadanya. Seorang dokter spesialis dalam yang kebetulan datang dari Rumah Sakit Provinsi memeriksaku dan mengatakan "Kamu harus minum obat 6 bulan ya" jelasnya singkat. Kemudian beliau memberiku obat batuk dan vitamin. Namun, sayangnya dokter hanya bicara padaku tanpa menginfokan ke petugas program TBC.
Berharap membaik seiring berjalannya waktu, batukku memburuk. Aku pulang ke kampung halaman, berharap pengobatan di rumah sakit kabupaten bisa membantuku. Tapi tetap saja, diagnosisnya menggantung. Obat batuk, vitamin, dan ketidakpastian menjadi teman setiaku. Aku kembali ke tempat tugas, memaksakan diri untuk mengajar, menahan rasa sesak yang semakin sering datang.
Puncaknya, aku nyaris tumbang di perantuan. Teman-teman mengantarku ke puskesmas. Dirawat. Jauh dari istri. Jauh dari keluarga. Ditemani rasa sepi yang makin mencekik.
Setelah membaik aku pulang ke kampung halaman. Bolak-balik antara RSUD dan rumah mertua. Hingga akhirnya, seorang dokter spesialis dalam memberanikan diri merujukku ke rumah sakit provinsi. Di sana, lewat sederet tes dan pemeriksaan, akhirnya terungkap: paru kiriku positif TBC.
Saat itulah hidupku benar-benar berubah.
Aku mulai menjalani pengobatan. Mengkonsumsi obat TBC yang membuat tubuhku gatal, kemerahan, bahkan terasa seperti terbakar dari dalam. Setiap malam terasa panjang. Setiap pagi terasa berat. Tapi lebih sakit lagi saat aku mulai merasakan perlakuan orang-orang sekitarku berubah.
Teman kerja. Teman nongkrong. Bahkan keluargaku sendiri. Perlakuan mertua sudah mulai berubah, di tempat kerja istriku membicarakan aku yang dikhawatirkan menularkan. Padahal saya sudah bertanya kepada dokter spsialis penyakit dalam soal penularan penyakit ini, "Setelah 2 bulan dan BTA terkonfirmasi negatif boleh bercampur dengan istri karena sudah tidak menular", tapi itu percuma dan terbantahkan oleh mereka yang orang awam, suasan rumah tangga saya pun sudah mulai tidak rukun. Istri dipengaruhi orang tua yang akhirnya komunikasi kami tidak bagus dan hubungan retak.
Kepala sekolah memintaku berhenti mengajar demi melindungi siswa. Akhirnya aku cari sekolah di kota untuk pindah biar dekat dengan faskes kalau ada apa-apa cepat ditangani, dari sekolah ke sekolah cari rekomendasi penerimaan. Hingga aku jadi bahan perbincangan orang sampai pada waktu itu ada satu kepala sekolah yang mengatakan, "Bukannya sekolah tidak butuh, tapi tidak ada sekolah yang mau menerima karena penyakit TBC takut menular".
Aku mencoba bertahan. Berpindah-pindah sekolah, mencari tempat yang mau menerimaku. Tapi stigma itu menempel kuat. Beberapa sekolah bahkan menarik kembali rekomendasinya setelah tahu aku pasien TBC. Aku merasa tidak diinginkan di mana-mana. Pernah, saat antri mengambil obat, aku mendengar petugas berbisik sinis tentangku. Rasanya, dunia benar-benar runtuh di hadapanku.
Di tengah keterpurukan itu, secercah cahaya datang. Seorang pejabat di Dinas Pendidikan — yang ternyata juga pernah berjuang melawan TBC — memberiku kesempatan untuk bekerja di kantornya. Di sanalah aku belajar bertahan. Sendiri. Tanpa keluarga. Tanpa teman. Hanya aku, diri sendiri.
Aku mencuci pakaian kerjaku sendiri. Kadang terpaksa mengambil kembali baju kotor untuk dipakai lembur karena tak ada pilihan. Aku terus minum obat, kontrol rutin ke rumah sakit, menahan efek samping yang menyiksa, dan menutup telinga dari bisikan-bisikan jahat di sekitarku.
Setelah enam bulan penuh perjuangan — sakit, sepi, dan stigma — akhirnya dokter menyatakan aku sembuh total. Alhamdulillah, aku masih hidup. Aku bertahan.
Tapi aku tahu, ada harga yang harus kubayar. Rumah tanggaku hancur. Banyak hubungan yang tidak bisa kembali seperti dulu.
Kini, aku ingin menyampaikan satu pesan: pasien TBC bukan untuk dijauhi. Mereka butuh dukungan. Mereka butuh harapan. Karena melawan penyakit ini saja sudah cukup berat, jangan biarkan mereka juga harus melawan dunia.
Tulisan dibuat oleh Samsurijal sebagai karya terpilih dari Kisah Kasih Submission
Comments