Tak Perlu Orang Lain Mengalami yang Kualami
Namaku Vivi, aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Sebagai anak ragil aku hidup tak kurang kasih sayang dari kakak perempuan dan orang tuaku.
Seperti remaja pada umumnya, aku gemar menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan teman, keluarga, maupun sendirian. Semua nampak biasa saja sampai suatu ketika aku didiagnosis TBC. Saat itu, aku berusia 15 tahun dan duduk di bangku kelas 9. Tak banyak pengetahuan tentang TBC yang aku ketahui saat itu. Yang aku tahu TBC hanyalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri.
Aku pun tetap bersekolah seperti biasanya. Semua terasa biasa saja hingga salah seorang temanku mengatakan aku terlihat pucat dan kurus, aku pun menyangkal. Namun, malam harinya tubuhku menggigil. Orang tuaku langsung membawaku ke klinik terdekat. Saat itu, aku didiagnosa demam berdarah.
Hari berganti. Namun sakitku tak kunjung membaik meski rutin minum obat. Alih-alih membaik, kondisiku justru memburuk. Tubuhku menggigil, demam tinggi, dan berkeringat di malam hari. Bahkan berat badanku pun mulai menurun.
Kemudian aku diperiksa di fasilitas kesehatan lainnya. Namun diagnosaku tetap sama, demam berdarah. Dokter menambahkan, jika 3 hari tidak ada perubahan, aku harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Karena kondisiku yang semakin lemah, orang tuaku membawaku ke rumah sakit. Aku menjalani pemeriksaan X-Ray. Dari pemeriksaan tersebut aku didiagnosa positif TBC Milier dan harus menjalani pengobatan selama kurang lebih enam bulan. Air mataku menetes kala itu. Aku merasa hidup ini tidak adil.
Aku pun memutuskan untuk tidak sekolah dan fokus pada pengobatan. Perjuanganku tak mudah saat itu. Sakitku tak kunjung membaik. Obat-obatan yang setiap hari aku minum pun tak cukup membantuku. Suatu pagi, dadaku terasa sesak. Untuk bernapas pun aku kesulitan.
Aku segera dilarikan ke UGD. Ternyata aku terkena pneumothorax. Terdapat udara yang terkumpul di rongga pleura. Aku menjalani operasi Water Seal Drainage (WSD) untuk mengeluarkan udara yang terkumpul itu.
Namun sepertinya Tuhan ingin melihatku lebih berjuang lagi. Ia ingin aku berdoa dan berkeluh kesah kepada-Nya lebih sering. Karenanya, Dia memberiku cobaan yang lebih berat lagi. Perjuanganku berobat tidak cukup hanya dalam waktu enam bulan. Keluar masuk rumah sakit sudah menjadi kebiasaanku. Jenuh karena minum obat setiap hari pun selalu aku rasakan. Namun aku tidak menyerah begitu saja. Aku tidak ingin usahaku sia-sia. Dukungan dan doa dari kedua orang tua membuatku yakin bahwa aku pasti sembuh.
Selang beberapa bulan, aku dinyatakan sembuh. Aku pun memutuskan untuk berangkat sekolah karena tak ingin tertinggal pelajaran. Aku membayangkan saat tiba di sekolah guru-guru akan menyambutku dengan hangat dan menanyakan kondisiku. Ternyata dugaanku salah. Aku justru mendapat perlakuan yang menurutku tidak adil.
Sesampainya di kelas, seorang guru memanggil lima perwakilan siswa untuk menemuinya. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Hanya saja saat kembali ke kelas, kelima siswa tadi langsung membagikan masker ke seluruh siswa. Aku tahu, tujuan guruku baik, melindungi seluruh siswa agar tidak tertular olehku. Namun cara yang mereka lakukan membuatku merasa sedih. Padahal aku sudah memakai masker dan tidak pernah melepasnya kecuali untuk makan dan minum saat jam istirahat.
Tidak hanya itu, ada hal lain yang juga membuatku tak kalah sedih. Saat aku melewati koridor sekolah, guru-guru memilih jalan lain agar tidak berpapasan denganku. Begitupun saat bersalaman. Beberapa guru tidak mau bersalaman dan mengacuhkan tanganku. Bahkan ada yang membuang muka ketika melihatku.
Kesedihan lainnya kurasakan saat ujian. Aku harus mengerjakan soal di luar, sendirian tanpa pengawas. Alasannya karena kasihan melihat kondisiku berada di dalam ruangan yang ber-AC.
Puncaknya adalah ketika kepala sekolah memutuskan agar aku pindah sekolah. Ayahku keberatan karena aku tidak melakukan perbuatan yang mencoreng nama baik sekolah. Setelah melalui perjuangan, akhirnya kepala sekolah pun mengurungkan niatnya. Aku pun tetap melanjutkan pendidikanku di sekolahku.
Terlepas dari semua perlakuan yang aku terima, ada seorang guru yang tetap memperlakukanku dengan adil. Sayangnya, aku hanya bertemu dengannya 3 kali karena masa tugasnya telah usai. Sebelum pamit, Ia memberiku sepucuk surat yang berisi:
“Dengan kata ‘semangat’ pantang menyerah untukmu. Aku yakin kau pasti bisa mengatasi kesulitan dirimu. Hanya dengan izin Allah maka kau akan dapat mengatasi semua problem yang kau hadapi saat ini. Jangan putus asa, jangan berkecil hati, dan jangan minder dalam mengarungi hidup yang serba komplek/keras ini. Walau hanya sebentar (3x) pertemuan dengan Bapak, kau dapat mengambil intisari petuah-petuah Bapak. Tetaplah semangat dan tuntaskan pendidikanmu di sekolah ini walau dengan berat hati. Kau adalah salah satu murid yang betul-betul semangat. Dan Bapak percaya bahwa kau dapat menyelesaikannya. Dengan doaku yang tulus, semoga kau nantinya akan dapat berdiri sendiri dengan kedua kakimu yang kokoh.”
Surat itu menjadi alasanku untuk terus melanjutkan pendidikanku hingga lulus di sekolah yang aku anggap menjadi tempat menyedihkan.
Hingga kini, diskriminasi yang aku peroleh dari guru membuatku takut untuk berinteraksi. Merasa tidak percaya dengan diri sendiri. Takut akan omongan orang lain apabila mereka mengetahui aku memiliki riwayat penyakit TBC. Oleh karenanya, aku harap tidak ada lagi stigma dan diskriminasi dari penyakit TBC. Dukungan dan dorongan kalian sangat berarti untuk kami, pasien maupun penyintas TBC. Kami berhak mendapatkan keadilan. Kami juga berhak untuk hidup.
Aku merasa pengalamanku berat. Semoga tak ada lagi yang mengalaminya. Karenanya, aku antusias ketika ada ajakan dari Zero TB Yogyakarta untuk aktif sebagai kader muda TBC. Sebagai kader, aku dan teman-teman lain dibekali pengetahuan tentang TBC, pemahaman tentang gender, apa yang bisa anak muda lakukan untuk mendukung eliminasi TBC dan bagaimana menjadi agent of change di tempat kami berada. Dengan pengetahuan itu, diharapkan kami turut serta dalam upaya penemuan kasus TBC sekaligus mengikis stigma di masyarakat. Aku pun membolehkan dokter yang merawatku di rumah sakit dulu untuk membagikan pengalamanku di setiap seminar atau pertemuan yang ia ikuti. Bahkan foto dan nama kuijinkan untuk ditampilkan. Semoga kontribusi kecil ini dapat mengikis stigma dan mengeliminasi TBC dari bumi tercinta.
Biodata penulis:
Vivi Alfita Devi merupakan seorang pelajar SMA kelas 12 asal Yogyakarta serta seorang pejuang TBC pada tahun Agustus 2018 hingga Februari 2020.
TBC bukan menjadi alasan untuk mendiskriminasi, rangkulan dan dukungan kalian adalah kekuatan kami untuk bertahan hidup - Vivi Alfita Devi
Baca juga kisah lainnya:
Comments