Pemimpin Dunia Bersatu! TBC Resisten Obat Masuk Sebagai Deklarasi Politik PBB Tentang Penanganan Resistensi Antimikroba di Amerika Serikat
New York, Amerika Serikat, September 2024, Indonesia turut serta dalam pertemuan tingkat tinggi yang diselenggarakan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Resistensi Antimikroba (Antimicrobial Resistance – AMR). Pertemuan tingkat tinggi PBB tentang AMR (United Nation High Level Meeting, UN HLM AMR) kali ini bertemakan investasi masa kini untuk mengamankan masa depan untuk mempercepat aksi global, regional dan multi sektoral dalam mengatasi resistensi antimikroba.
Pada UN HLM AMR 2024 ini, pemimpin dunia secara resmi mengadopsi Deklarasi Politik tentang Resistensi Antimikroba (AMR), yang mengakui tuberkulosis resistan obat (TBC RO) sebagai komponen penting dalam respons global terhadap AMR. Deklarasi ini menekankan pentingnya tindakan global yang terkoordinasi untuk memerangi AMR, ancaman yang menyebabkan 1,27 juta kematian setiap tahun.
Pengesahan deklarasi ini menandai momen penting dalam perjuangan melawan AMR, dimana deklarasi politik pertama AMR di tahun 2016, tidak mencantumkan TBC RO sebagai bagian AMR.
Pencantuman TBC RO sebagai prioritas utama merupakan hasil dari advokasi berkelanjutan yang dilakukan Stop TB Partnership bersama mitra lainnya, termasuk Indonesia yang memberikan pernyataan mewakili aliansi negara dalam upaya pemberantasan TBC pada sidang tingkat tinggi AMR PBB 26 September lalu. Upaya advokasi dan pernyataan berbagai negara pada UN-HLM tersebut secara konsisten menekankan perlunya tindakan lebih kuat untuk mengatasi ancaman resistensi obat serta menjadikan TBC sebagai prioritas dalam upaya global terhadap AMR.
Menurut World Health Organization (WHO), AMR merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat dan pembangunan global. AMR diperkirakan telah menyebabkan 1,27 juta kematian global pada tahun 2019. Bank Dunia memperkirakan bahwa AMR akan meningkatkan biaya langsung untuk pengobatan US$ 1 triliun pada tahun 2050, dan kerugian produk domestik bruto (PDB) hingga US$ 3,4 triliun per tahun pada tahun 2030.
Tuberkulosis (TBC) adalah salah satu kontributor resistensi antimikroba. Hal ini terjadi karena karakteristik unik bakteri TBC dan pengobatannya yang lama sehingga berpotensi besar menjadi resisten apabila pengobatannya tidak dilakukan teratur sampai selesai.
Banyak hal yang bisa memicu terjadinya TBC resistensi obat, untuk kasus Indonesia salah satunya dikarenakan Pembelian antibiotik tanpa resep masih sangat mudah diakses, terdapat 75.49% penjualan antibiotik tanpa resep dan tingginya kejadian putus berobat.
Dalam sidang tingkat tinggi tersebut Menteri Kesehatan Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan “Indonesia telah menetapkan Rencana Aksi Nasional tentang AMR sejak tahun 2020, dan menjadi negara pertama yang mengadopsi pedoman WHO untuk AMR dalam kesehatan manusia dengan pendekatan yang berpusat pada manusia pada tahun 2024, serta memasukkan pengendalian AMR sebagai indikator utama dalam rencana pembangunan nasional kami”.
Menurutnya hal ini dikarenakan AMR merupakan hambatan besar dalam perawatan dan pencegahan TBC secara global, membuat pengobatan menjadi lebih sulit, lebih mahal, dan lebih lama — sering kali menghasilkan hasil yang lebih buruk bagi pasien serta meningkatkan tekanan pada sistem kesehatan.
Dalam upaya mendukung upaya advokasi terintegrasi nya TBC-RO dalam deklarasi politik AMR, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) juga telah meluncurkan dokumen ‘Position Paper on TB and AMR or UN-HLM Political Declaration 2024’. Dokumen tersebut merupakan hasil konsultasi nasional dengan pemangku kepentingan tingkat nasional, yang menjadi bahan pemerintah Indonesia dalam sidang tingkat tinggi tersebut.
Nurul Luntungan, Ketua Yayasan STPI atau Kemitraan Strategis Tuberkulosis Indonesia, menyatakan ‘Integrasi TBC RO sebagai bagian deklarasi politik AMR diharapkan akan memperkuat komitmen negara dan implementasinya dalam menyelesaikan ancaman besar kesehatan masyarakat secara efektif dan lintas sektor.” tutupnya.
Comments