Orang dengan Tuberkulosis Menanggung Beban Multidimensi. STPI : Perlindungan Sosial Wajib Dimiliki Orang dengan atau Terdampak TBC
Jakarta, 22 Februari 2024 - Stop TB Partnership Indonesia (STPI) menyelenggarakan sebuah diskusi lintas sektor sebagai tanda dimulainya komitmen STPI selama tahun 2024 dalam mensinergikan program penanggulangan tuberkulosis (TBC) terutama pada akses penerimaan manfaat kesehatan dan sosial dengan keterlibatan aktif masyarakat sipil dan komunitas. Kick off program yang dinamai Synergy in Tuberculosis and Social Program (STOP) ini dihadiri oleh beberapa Kementerian & Lembaga, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, serta komunitas penggiat isu tuberkulosis dari berbagai kota di Indonesia.
Ketua Yayasan STPI dr Nurul Luntungan, membuka acara dengan menampilkan beberapa fakta terkini terkait isu tuberkulosis “Pada 2023 diperkirakan terdapat 1.060.000 kasus TBC di Indonesia dan 24.637 kasus diantaranya adalah kasus Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO). Dari 800.000 kasus TBC yang ditemukan sampai tahun 2024, belum semuanya mendapatkan pengobatan atau enrollment rate terupdate TBC Sensitif Obat (SO) sebesar 84% dan TBC RO sebesar 69%. Di tahun 2022 PR Komunitas bekerja sama dengan POP TB meluncurkan program TB Army untuk mencari pasien TBC RO yang sudah terdiagnosa tapi belum mulai pengobatan, dari yang berhasil didatangi ke rumahnya, 50% telah meninggal dunia” tutur Nurul
Fakta - fakta tersebut diperkuat dengan realita, bahwasannya permasalahan orang dengan tuberkulosis bukan hanya bicara masalah medis saja “Orang terdampak TBC menghadapi masalah multidimensi, meliputi dampak fisik, psikis dan dampak finansial. Hal ini karena orang terdampak TBC mengalami kehilangan produktivitas dan pekerjaan akibat stigma dan diskriminasi di tempat kerja, sementara terdapat kebutuhan tambahan biaya untuk gizi tambahan serta biaya medis tidak langsung selama menjalani pengobatan” tutur Nurliyanti Program Manager STPI.
Melihat realita yang dihadapi oleh orang dengan tuberkulosis, dimana mereka terdampak secara fisik, psikis dan finansial, harusnya program - program negara memiliki jaminan perlindungan sosial bagi mereka, namun sayang beberapa program tersebut tidak serta merta bisa diterima oleh orang dengan tuberkulosis “Masa iya kalau menerima PKH (Program Keluarga Harapan) harus miskin dulu, kita mencegah kemiskinan bertambah karena Tuberkulosis, tapi orang sakit TBC kalau mau dapat bantuan PKH harus nunggu miskin dulu, hal ini seharusnya bisa diperbaiki kedepannya” tutur Direktur POP TB Budi Hermawan.
Menurut Budi, kondisi seperti itu akan sangat mempengaruhi kepatuhan berobat orang dengan TBC, serta dapat secara tidak langsung menyebabkan kesulitan ekonomi. Saat ini pemerintah memberikan perlindungan sosial seperti PKH (Program Keluarga Harapan), bantuan sembako, bantuan dari pemerintah daerah, dan lainnya. Namun, peruntukan tersebut tidak spesifik pada orang dengan TBC karena hanya mempertimbangkan kondisi kemiskinannya, sehingga masih sedikit orang terdampak TBC yang memiliki akses perlindungan sosial.
Terkait hal ini, Analis Kebijakan Ahli Madya/ Koordinator bidang Kepesertaan Direktorat Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Neneng Rusmayanti mengungkapkan, bahwasannya berdasarkan Perpres nomor 67 tahun 2021, tugas Kementerian Sosial adalah untuk menyediakan sanatorium dan bantuan psikososial ekonomi, bahkan telah ditunjuk unit kerja teknis yang menjadi lead di Kemensos: “TBC pernah masuk ke komponen PKH pada tahun 2020, dengan besaran bantuan 3 juta rupiah dalam 1 tahun dan ada 570 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang memperoleh bantuan sosial PKH, namun di akhir tahun ada audit bahwa tidak ada kebijakan yang dapat mengizinkan Kemensos memberikan bansos pada pasien TBC, sehingga di tahun 2021 (PKH) tidak diberikan lagi pada pasien TBC” jelas Neneng. Menurutnya Kemensos adalah unit teknis/pelaksana, sehingga mengikuti kebijakan dari BAPPENAS “Anggaran dan kebijakan Kemensos mengikuti BAPPENAS, jika ini didorong ke sana, ada penghitungan anggaran dari Kemenkeu dan dukungan dari BAPPENAS maka Kemensos siap menyalurkan” tambah Neneng.
Dalam hal ini peran Kementerian BAPPENAS menjadi sangat penting, namun sayang dalam diskusi ini, tidak ada perwakilan BAPPENAS yang hadir. Pentingnya kerjasama lintas sektor juga disepakati oleh Kementerian Kesehatan “Dalam Perpres sudah diamanahkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan perlindungan sosial bagi orang dengan TBC” tutur Nurul Badriah Focal Point Public-Private-Mix (PPM) Tim Kerja TBC Kementerian Kesehatan, menurutnya belum ada regulasi teknis/turunan dari Perpres hingga masih diperlukan koordinasi dengan lintas Kementerian/Lembaga lain, “Perpres tidak dapat sukses terimplementasi tanpa eksekusi bersama” tutup Nurul Badriah.
Kommentare