Kawal Kebijakan Stigma Pasien TBC untuk Cegah Celaka di Indonesia
Saksikan relainya di
JAKARTA – Stigma menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan tuberkulosis (TBC) dan dapat memperburuk kondisi pasien. Karena adanya stigma, baik internal maupun eksternal, menjadi penghambat pemenuhan hak pasien dan penyintas TBC untuk mengakses layanan kesehatan. Hal ini menjadi tantangan bagi program TBC yaitu penemuan kasus yang masih belum mencapai seratus persen bahkan menurun hampir setengahnya pada tahun 2020 menjadi hanya 41% (Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan RI, 2021).
Pada Senin (14/6), Stop TB Partnership Indonesia (STPI) bersama Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB) Indonesia dengan dukungan Stop TB Partnership Global mengadakan seminar dengan tajuk “Stigma TBC dan Hambatan Sosial Lainnya” secara daring. Seminar yang dimoderatori oleh Fristian Griec ini menghadirkan dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI, dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Manajer Program TBC Nasional, Meirinda Sebayang selaku Delegasi Dewan TBC Komunitas Stop TB Partnership Global, dan Ani Hernasari selaku perwakilan dari Organisasi Pasien REKAT. Dalam pertemuan ini hadir pula perwakilan dari Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat yaitu Emanuel Melkiades Laka Lena dan drg. Putih Sari.
Dalam pengantarnya, dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid mengatakan dengan tegas bahwa sudah terdapat kerjasama dengan Kemenakertrans agar tidak terjadi stigma TBC di tempat kerja, “Kita berharap, selama masa intensif orang dengan TBC di tempat kerja dapat diberikan cuti khusus untuk pengobatannya dan tidak dilakukan PHK karena takut akan penularannya. Kurangnya informasi dan edukasi sangat berpengaruh terhadap hak-hak yang diterima pasien khususnya di tempat kerja dan umumnya di masyarakat. Perlu peran keluarga, komunitas dan lintas sektor untuk mendukung dan menggerakkan isu strategis penanggulangan TBC dalam mencapai strategi nasional poin 5 untuk mengurangi stigma TBC.”
Stigma TBC dapat terjadi dari dalam diri pasien maupun dari lingkungan termasuk di layanan kesehatan. Dalam kisahnya, Ani Herna Sari menceritakan pengalamannya saat melahirkan dengan kondisi sudah tidak dalam masa penularan TBC Resistan Obat, “Saya ditangani di ruangan isolasi untuk mengobati paru-paru saya, bukan di tempat penanganan persalinan. Bayi saya yang baru berusia satu hari mengalami kepala rata di sebelah kanan karena harus minum susu dari botol yang disandarkan, tidak langsung menyusui dari ibunya.”
Ani menyampaikan bahwa akses layanan TBC sudah tersedia secara gratis, namun tidak semua orang mengetahuinya sehingga perlu disosialisasikan lebih luas lagi untuk menjangkau seluruh masyarakat di luar komunitas TBC. Begitupun dengan penanggulangan stigma yang sudah tercakup dalam strategi ke lima dalam Strategi Penanggulangan TBC 2020-2024 yaitu intervensi khusus untuk pengurangan stigma dan diskriminasi pada populasi risiko tinggi TBC dan populasi rentan.
Sebagaimana disampaikan pula oleh dr. Imran Pambudi, MPHM bahwa dalam upaya pengurangan stigma dan diskriminasi telah terdapat sejumlah kegiatan strategis antara lain identifikasi tantangan mutu pelayanan TBC, data hambatan akses layanan, penguatan respons layanan kesehatan, menciptakan lingkungan bersahabat bagi pasien, edukasi masyarakat terkait TBC untuk menghapus stereotip, dan memperkuat komunitas dan satgas TBC untuk menciptakan lingkungan tanpa stigma dan diskriminasi TBC, “Terdapat pula dua pasal pada Rancangan Peraturan Presiden TBC terkait stigma antara lain pada pasal 12 yaitu setiap pasien TBC dalam menjalani pengobatan berhak mendapatkan perlindungan terhadap stigma dan diskriminasi terkait penyakitnya serta pada pasal 13 untuk menyediakan layanan TBC yang ramah dan berpihak pada kebutuhan pasien.”
Meskipun perlindungan pasien TBC sudah dinilai ideal baik di tempat kerja dan sudah ada dalam berbagai kebijakan di Indonesia, masih perlu dievaluasi kembali penerapannya secara riil di lapangan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Meirinda Sebayang, “Kita memiliki banyak kebijakan yang dapat digunakan sebagai tools untuk advokasi, namun begitu sebaik-baiknya kebijakan apabila tidak ada pengawalan atau koridor yang memastikan kebijakan tersebut sesuai, tetap akan muncul kemungkinan terjadinya pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam implementasinya.”
Upaya pengurangan stigma TBC juga telah terdapat dalam pembahasan Komisi IX DPR RI, perlu adanya otokritik dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia karena hingga saat ini jumlah kasusnya masih belum juga menurun. Fungsi pengawasan paling mungkin kita lakukan dalam penanggulangan TBC di Indonesia, politik anggaran dan promosi kesehatan dalam penanggulangan TBC harus dilakukan secara kuat, optimal dan tidak putus di dalam negeri sehingga dapat menurunkan angka kasus TBC di Indonesia. Kerjasama multisektor dalam menanggulangi stigma TBC juga perlu dilakukan untuk mencegah dampak-dampak dari stigma yang mungkin terjadi. Putih Sari juga menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 agar tidak menjadi penghambat, kita dapat menumpangi penanganan pandemi untuk menanggulangi TBC di Indonesia.
Comments