Dianggap Membahayakan Masyarakat, Wanita di AS Terancam Dipenjara karena Mangkir Pengobatan TBC
Washington - Dilansir dari NBC News Washington seorang wanita, inisial VN, dengan status Tuberkulosis (TBC) aktif menolak melanjutkan pengobatannya dan diancam penjara oleh pengadilan setempat. Pasalnya, Ia sudah menjalani pengobatan sejak tahun 2022 namun tidak menyelesaikannya. Di bawah undang-undang negara bagian Washington, pejabat kesehatan masyarakat memiliki wewenang hukum untuk meminta perintah pengadilan ketika penolakan seseorang minum obat menimbulkan ancaman bagi publik.
Pengadilan setempat sudah memberikan peringatan sebanyak 15 kali untuk VN melakukan isolasi, cek rutin dan melakukan pengobatan hingga Januari 2022, namun belum direspon oleh pihak yang bersangkutan. Kamis lalu (2/3), sidang ke-17 dilakukan untuk memutuskan penandatanganan hakim agar menangkap VN untuk melakukan pengobatan.
Hal tersebut terpaksa dilakukan oleh departemen kesehatan karena, sebelum melaporkan ke pengadilan, mereka sudah mencari cara lain seperti melakukan kerjasama dengan keluarga VN untuk membujuknya melanjutkan pengobatan kembali dan mendatangkan ahli penyakit TBC untuk berunding dengan pasien. Bulan lalu, VN datang ke UGD setempat karena mengalami kecelakaan mobil. Saat melakukan pemeriksaan kesehatan, Ia tidak memberitahu ke tenaga kesehatan yang merawatnya bahwa Ia positif TBC. Menurut keterangan dari departemen kesehatan, hal tersebut sangat berisiko menularkan kepada tenaga kesehatan yang menanganinya, bahkan seorang supir dari taksi yang VN tumpangi bisa saja tertular olehnya. Namun, setelah dilakukan test X-Ray paru-paru oleh tenaga kesehatan tersebut, baru terlihat bahwa VN positif TBC.
Belum diketahui alasan VN tidak meneruskan pengobatan hingga tuntas dan departemen kesehatan tidak memberikan keterangan lebih lanjut. Perintah pengadilan memutuskan untuk menahan VN tidak lebih dari 45 hari untuk menjalani tes medis dan melanjutkan pengobatan TBC aktif hingga hasil medis menetapkan bahwa Ia tidak lagi menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat maka VN bisa dibebaskan.
Berdasarkan kasus tersebut, dapat dipelajari bahwa peraturan kesehatan di setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia sendiri, kasus VN disebut sebagai kasus mangkir atau lost to follow up (LTFU) yaitu putus berobat sebelum menyelesaikan pengobatan hingga dinyatakan sembuh. Perilaku pasien mangkir dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, bisa dari faktor lingkungan, faktor ekonomi, kepercayaan, diskriminasi dan stigma dari diri sendiri, tenaga kesehatan dan keluarga.
Sejauh ini, dari 1.441 pasien TBC yang didampingi oleh komunitas (Organisasi Penyintas dan/atau Organisasi Masyarakat Sipil) terdapat 4% pasien mangkir di awal 6 bulan pengobatan (sumber: Presentasi PR Konsorsium Penabulu-STPI, 28 Februari 2022). Namun, proporsi pasien mangkir tersebut sudah mengalami penurunan dari tahun 2021 dari angka 6%. Hal ini menunjukkan pentingnya peran komunitas seperti Manajer Kasus (MK) dan Patient Supporter (PS) dalam mendampingi pasien TBC untuk terus menjalani pengobatan hingga tuntas. Meskipun demikian, masih ada beberapa individu yang menolak memulai pengobatan sehingga menjadi early loss-to-follow-up dan mempersulit upaya memutus mata rantai penularan TBC di masyarakat.
Hal yang menarik dalam penanggulangan TBC di Washington tersebut adalah apabila terdapat orang dengan TBC mangkir dengan alasan tertentu, berdasarkan hukum negara bagian yang berlaku, Ia dapat ditahan selama 45 hari untuk menjalani pengobatan TBC hingga hasil tes medis menunjukkan individu tersebut tidak menjadi sumber penularan. Departemen kesehatan setempat telah berupaya untuk menggerakkan keluarga dan tenaga kesehatan yang ahli di bidang TBC, namun, pasien tetap menolak menjalani pengobatan, tidak menerapkan etika batuk dan terus bepergian serta bertemu banyak orang maka Ia dianggap membahayakan kesehatan masyarakat.
Kasus pasien TBC mangkir sebelum dan saat pengobatan juga terjadi di Indonesia. Tenaga pendamping komunitas bersama fasilitas pelayanan kesehatan berupaya melacak orang-orang yang mangkir pengobatan meskipun keterangan identitas pasien TBC tidak lengkap, kadang saat dikunjungi ke rumah atau alamat domisili justru tidak ditemukan atau pindah, dan saat dihubungi mereka tidak menjawab atau bahkan memblokir nomor tenaga kesehatan atau mengganti nomor kontak dan tidak dapat dijaring oleh komunitas. Sehingga, keadaan tersebut cukup mengkhawatirkan bagaimana pencegahan dan pengendalian dapat ditindaklanjuti jika pasien tidak ditemukan, padahal, hal ini dapat dimitigasi lebih awal. Inovasi sejauh ini untuk menurunkan kasus pasien mangkir adalah menghubungkan pasien dengan dukungan komunitas dan melacak pasien TBC mangkir dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), namun hal ini masih belum masif diterapkan karena masih terbatas di 190 kota/kabupaten.
Berdasarkan Global TB Report WHO (2022), pada tahun 2021, sebanyak 3.394 orang yang terdiagnosa dengan TBC resisten obat yang tidak memulai pengobatan. Untuk mempengaruhi perubahan perilaku pada masyarakat agar memulai dan menuntaskan pengobatan TBC RO, pemerintah dapat mengeksplorasi inovasi dalam kebijakan bagi orang yang menolak pengobatan TBC. Seperti yang disampaikan oleh Barry Adhitya selaku Program Manager PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dalam acara Dialog Multistakeholder untuk Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil dan Komunitas dalam Perawatan Pengobatan Orang Dengan TBC Resisten Obat (RO), “Kenapa peraturan di perusahaan malah memecat pasien TBC? Mengapa tidak sebaliknya saja, jika tidak berobat TBC maka terancam akan dipecat karena dengan begitu akan membuat orang harus terus menjalani pengobatan hingga tuntas”, ujarnya.
Gagasan kebijakan tersebut tentunya memiliki pro dan kontra karena akan berdampak pada kebebasan seseorang. Namun, menilik pembelajaran dari Washington, regulasi pada pasien yang menolak pengobatan dapat diterapkan dengan catatan pasien tetap menolak pengobatan dalam jangka waktu tertentu setelah semua upaya dilakukan, termasuk edukasi dari komunitas maupun ahli TBC. Cara tersebut hanyalah upaya terakhir dilakukan karena apabila melihat penyebaran dan penularannya, pasien TBC yang tidak menjalani pengobatan/mangkir akan berpotensi menyebarkan bakteri ke orang lain dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat, bahkan bisa tertular dengan kondisi TBC Resisten Obat (RO) yang lebih sulit untuk diobati dan mahal. Pada lain sisi, ketika seorang pasien TBC menolak untuk diobati dan/atau putus berobat, pemerintah juga perlu memikirkan pemenuhan hak bagi masyarakat untuk tetap sehat dengan mengurangi ancaman TBC.
Referensi bacaan:
Comments