top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Diagnosis dan Pengobatan TBC Ketinggalan Zaman

Berdasarkan Rilis Stop TB Partnership untuk Laporan Step Up for TB 2020

Diterjemahkan oleh Stop TB Partnership Indonesia





Tuberkulosis adalah penyakit menular yang menjadi pembunuh utama masyarakat di dunia dan Indonesia melebihi HIV/AIDS dan Malaria, situasi ini diperburuk dengan dampak negatif pandemi COVID-19 pada orang yang terdampak TBC. Upaya dunia untuk mengakhiri TBC mendapatkan dukungan para Kepala Negara dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Tuberkulosis di Majelis PBB pada September 2018 dengan target menuju eliminasi 2030 dan target tahapan pertama pada 2022. Meskipun begitu, progres implementasi Deklarasi Politik Tuberkulosis PBB tahun 2018 terancam terhenti dan bahkan mengalami kemunduran akibat COVID-19.


Stop TB Partnership (STBP) dan Médecins Sans Frontières (MSF) merilis Step Up for TB 2020, publikasi yang melaporkan sejauhmana situasi dan kebijakan program tuberkulosis (TBC) nasional telah sesuai dengan praktik-praktik terbaik sesuai rekomendasi internasional berdasarkan panduan WHO dan riset ilmiah terbaru. Laporan Step Up for TB 2020 bertujuan mengajak negara-negara untuk segera memperbaharui kebijakan TBC dan rekomendasinya sebagai langkah krusial untuk memastikan inovasi diagnosis dan pengobatan TBC dibiayai secara penuh dan dapat dirasakan oleh masyarkat yang membutuhkan.


Step Up for TB 2020 menilik kebijakan nasional dari 37 negara dengan beban TBC yang tinggi dengan menilai sejauh mana kebijakan tersebut selaras dengan panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan rekomendasi internasional. Kebijakan di negara-negara tersebut diperkirakan berdampak pada 7.7 juta orang jatuh sakit karena TBC setiap tahunnya. Tiga puluh tujuh negara yang telah disurvei mewakili 77% beban TBC dunia dan 74% estimasi beban TBC resistan obat. Laporan ini turut mengulas hambatan dalam mengadopsi kebijakan program TBC yang terbaru sehingga dapat mengurangi efektifitas upaya mengakhiri TBC.


“Awal tahun ini, pandemi COVID-19 menghantam dunia dengan dampak yang menghancurkan, dan pemerintah di seluruh dunia secepat mungkin mengadopsi kebijakan baru dan regulasi dalam menanggapi situasi tersebut,” ungkap Lucica Ditiu, Direktur Eksekutif STBP. “Sementara itu, TBC masih menjadi pembunuh utama meskipun penyakit menular ini dapat dicegah dan diobati. Lebih buruk lagi, kebanyakan negara masih menggunakan kebijakan, praktik, alat dan paduan pengobatan yang ketinggalan zaman. Survei kami, yang dilaksanakan setiap tahun, menunjukkan perbaikan setiap tahunnya, namun masih banyak hal yang perlu dilakukan. Kita semua harus memastikan setiap orang terdampak TBC didiagnosis dan diobati dengan panduan dan alat terkini di dunia.”


Sebelumnya disebut dengan Out of Step, edisi keempat laporan serial ini mencakup negara-negara yang lebih luas dan kebijakan serta praktik tambahan dalam empat kategori: diagnosis, pengobatan, pencegahan dan pengadaan obat.



Diagnosis


Banyak negara yang disurvei masih menggunakan kebijakan pemeriksaan lampau sehingga upaya pencegahan dan pengobatan TBC pada negara-negara masih belum adekuat. Sekitar 347.000 orang dengan TBC setiap tahunnya pada 37 negara yang disurvei mengalami resistensi terhadap pengobatan yang ada. Selain itu, hanya 1% diantaranya diperkirakan dapat mengakses uji kepekaan obat yang komperehensif dimana hanya 6 dari 37 negara (18%) telah memperkenalkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mendukung praktik tersebut.


TBC adalah penyakit yang paling banyak mengakibatkan kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dimana lebih dari 28 juta ODHA berada di 37 negara yang disurvei. Tetapi, hanya 14% dari negara-negara tersebut memiliki regulasi yang mengizinkan pemeriksaan TBC menggunakan diagnostic Lipoarabinomannan urin (LF-LAM/Lateral flow urine lipoarabinomannan assay) pada ODHA dengan gejala TBC yang telah direkomendasikan sejak tahun 2015 di dunia. Diperkirakan lebih dari 17 juta ODHA belum memiliki akses pada alat diagnostik TBC yang cepat dan terjangkau untuk menyelamatkan nyawa mereka.


Bagaimanapun juga masih terdapat beberapa berita positif terkait kebijakan diagnostik. Terdapat kemajuan dari negara-negara pada indicator kunci tertentu sejak 2017 ketika laporan terakhir serial ini dipublikasikan. Contohnya, 80% negara yang disurvei—dengan lebih dari 1.5 miliar penduduk—mengindikasikan mereka menggunakan tes cepat molekular TBC sebagai pemeriksaan utama untuk orang dengan gejala TBC dan tidak lagi bertumpu pada tes mikroskopik untuk diagnosis. Meskipun begitu, banyak negara masih belum dapat mengimplementasikan kebijakan ini dan upaya ini perlu diprioritaskan.



Pengobatan


Pada kategori pengobatan, situasi yang dilaporkan sangat mengkhawatirkan sebab hampir 39% negara yang disurvei masih tetap menggunakan obat injeksi untuk mengobati TBC Resistan Obat (TBC RO) pada orang dewasa. Mayoritas negara gagal untuk memperbaharui kebijakan yang relevan dengan panduan internasional yang terbaru yang direkomendasikan oleh WHO sejak 2018. STBP mengajak Pemerintah untuk segera menghentikan penggunaan alat suntik dan mengimplementasikan paduan pengobatan dengan obat oral/telan untuk mengobati TBC RO.


Kemajuan terkait pengobatan TBC RO adalah pada pengobatan anak-anak, dengan 72% negara memperkenalkan pengobatan bebas suntik sehingga memberikan manfaat bagi 5.000 anak di tahun 2019. Meskipun begitu, anak-anak dengan resistansi obat masih ada yang mendapatkan pengobatan yang tidak layak karena kurangnya adaptasi alat diagnosis TBC pada anak. Diestimasikan 30.000 anak jatuh sakit TBC RO setiap tahun, tetapi, pada 2019 hanya 5.586 yang didiagnosis, diobati dan ternotifikasi ke WHO.


Laporan ini mengidentifikasi kesenjangan yang besar dalam model desentralisasi pelayanan TBC RO, dimana manfaat desentralisasi layanan hanya mencapai 21% orang terdampak TBC dari 8 negara yang disurvei. Negara-negara yang tidak dapat mempermudah akses orang terdampak TBC RO untuk diperiksa dan diobati di luar pelayanan spesialis sebetulnya membatasi akses pasien dan meningkatkan biaya dalam mengkases pelayanan TBC. Selain itu, model pengobatan rawat inap yang tidak sesuai kebutuhan pun akan meningkatkan risiko penularan infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan.



Pencegahan


Setelah sekian dekade terabaikan, pencegahan TBC akhirnya menjadi prioritas dalam upaya mengakhiri TBC. Skrining sistematis untuk TBC aktif, pemeriksaan infeksi TBC laten antara kontak serumah dan penyediaan pengobatan pencegahan TBC (TPT) telah dimasukkan dalam kebijakan nasional dari seluruh negara yang disurvei. Selain itu, 81% dari negara yang disurvei, dengan total populasi lebih dari 2.8 miliar orang, memiliki kebijakan yang mengatur TPT dengan jangka waktu lebih pendek. Namun, tetap perlu menjadi perhatian bahwa hampir separuh dari negara yang disurvei tidak memiliki kebijakan mengenai penyediaan TPT untuk kontak serumah meskipun sudah berkomitmen pada target spesifik PBB yang akan dicapai pada 2022.



Pengadaan


Temuan pada kebijakan pengadaan di negara-negara yang disurvei cukup mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian. Sebagian besar negara yang disurvei tidak memerlukan persetujuan dari badan otoritas yang ketat atau prakualifikasi WHO untuk mengimpor obat atau memproduksi obat anti TBC secara lokal. Akibatnya, orang dengan TBC berisiko untuk diobati dengan obat-obatan yang memiliki kualitas di bawah standar atau tidak diketahui kualitasnya sehingga dapat memperburuk penyakit TBC dan lebih sulit untuk diobati. Semua negara harus segera bekerja untuk menghilangkan hambatan dalam pengadaan yang efektif dan berkelanjutan. Biasanya melalui perubahan kebijakan dan keputusan legislatif.


“WHO secara cepat telah meninjau ulang bukti-bukti ilmiah terbaru dan memperbaharui kebijakan dan pedoman untuk memastikan bahwa orang dengan TBC dapat mengakses pencegahan dan pengobatan TBC yang berkualitas sesegera mungkin. Termasuk panduan selama pandemi COVID-19 untuk meningkatkan perawatan berbasis rumah tangga dan inovasi digital,” kata Dr. Tereza Kasaeva, Direktur Program TBC Global WHO. “Kami mendesak seluruh negara untuk segera meningkatkan implementasi dan mengadopsi pedoman WHO, khususnya pada negara yang memiliki beban TBC tinggi, hal ini penting untuk hasil yang lebih baik bagi orang terdampak TBC dan menyelamatkan nyawa.”


Dengan hanya 2 tahun lagi menuju 2022 untuk mencapai target TBC PBB, investasi yang mendesak diperlukan untuk mengembalikan upaya eliminasi TBC di tingkat global sesuai jalur dan melakukan akselerasi. Stop TB Partnership dan MSF mengajak seluruh Pimpinan Negara untuk memperbaharui dan mengimplementasikan kebijakan TBC negara yang sesuai dengan pedoman dan rekomendasi terkini dari WHO yang diakui secara internasional untuk menyongsong Hari TBC Sedunia pada 24 Maret 2021.



--



Kontak Stop TB Partnership

Anne-Marie Schryer-Roy: aschryer-roy@burness.com, +254 727305525

Kadira Malkoc: kadiram@stoptb.org, +41 79 823 49 29


 

Stop TB Partnership adalah entitas unik yang diselenggarakan oleh PBB berbasis di Jenewa, Switzerland berkomitmen untuk merevolusi ruang tuberkulosis (TBC) untuk mengakhirinya pada tahun 2030. Organisasi ini sejajar dengan lebih dari 2.000 mitra di seluruh dunia untuk meningkatkan kolabrasi lintas sektor. Stop TB Partnership mengambil risiko yang berani dan cerdas untuk mengidentifikasi, mendanai dan mendukung pendekatan inovatif, ide dan solusi untuk memastikan komunitas TBC memiliki suara di tingkat politik tertinggi dan semua orang terdampak TBC memiliki akses pada perawatan TBC yang terjangkau, berkualitas dan berpusat pada pasien.


Tentang Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit saluran pernapasan yang terlupakan dan membunuh 1.4 juta orang tiap tahun, lebih dari penyakit infeksius lainnya. Insiden dan kematian telah menurun dengan stabil selama beberapa tahun terakhir sebagai hasil dari kegiatan intensif oleh negara-negara dengan beban tinggi untuk menemukan orang terdampak TBC sejak dini dan menyediakan pengobatan yang tepat.


Tentang dampak COVID-19 pada TBC

Orang dengan TBC adalah salah satu populasi yang paling rentan pada langkah-langkah mitigasi pandemi COVID-19. Studi pemodelan terbaru yang dirilis oleh Stop TB Partnership bekerja sama dengan Imperial College, Avenir Health dan Johns Hopkins University menunjukkan berbagai dampak merugikan pada diagnosis, pengobatan dan angka kematian TBC karena pembatasan sosial berskala besar dan langkah pemulihan yang diperlukan untuk mengatasi pandemi COVID-19. Penelitian tersebut melaporkan potensi tambahan 6,3 juta kasus TBC antara tahun 2020 dan 2025 dan tambahan 1,4 juta kematian akibat TBC pada periode yang sama.

100 tampilan0 komentar

コメント


Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page