Di Balik Heningnya Hutan Papua Selatan: Perjuangan Melawan TBC Tanpa Fasilitas Memadai
- Stop TB Partnership ID
- 1 hari yang lalu
- 3 menit membaca
Diperbarui: 6 jam yang lalu

Nama saya Semuel, tetapi orang-orang lebih akrab memanggil saya Awingga. Dari Januari 2020 hingga Juli 2023, saya menjalani perjalanan menakjubkan sebagai perawat di pedalaman hutan Papua, tepatnya bersama masyarakat adat Suku Koroway di Kabupaten Boven Digoel.
Kehidupan di sana sangat jauh dari kenyamanan kota—listrik tidak 24 jam yang hanya menyala jika ada matahari karena kami menggunakan solar panel, tidak ada sinyal, dan satu-satunya akses transportasi adalah pesawat kecil yang hanya datang beberapa kali dalam sebulan.
Masyarakat koroway hidup bergantung penuh pada alam dan masih nomaden dalam berkebun. Di tahun-tahun awal, saya hanya bekerja berdua dengan satu rekan, tanpa adanya dokter di tempat (online). Kami membentuk tim kecil yang bertugas melayani kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak sekolah. Selama lebih dari tiga tahun, kami menangani beberapa penyakit endemis yang menular seperti malaria, frambusia, HIV/AIDS, dan TBC. Di antara semua itu, malaria menjadi penyakit endemik dan hampir selalu ada setiap minggunya. Namun, TBC adalah salah satu kasus yang paling menantang untuk ditangani.
Salah satu pengalaman yang sangat berkesan adalah saat menangani pasien Tn. B.M, seorang pria berusia 36 tahun. Ia datang ke klinik dengan keluhan batuk berdahak selama lebih dari empat minggu, disertai demam yang tak kunjung reda, tubuh sangat kurus, dan tampak lemas. Berat badannya turun drastis dari 67 kg menjadi 46 kg hanya dalam waktu satu bulan. Bahkan, saat datang ke klinik, ia harus dibopong karena tidak mampu berjalan sendiri.
Kami segera melakukan anamnesis. Tn. B mengaku sering berkeringat di malam hari, kehilangan nafsu makan, dan merasa lemas sepanjang hari. Ia tinggal di kampung yang cukup jauh, sekitar dua hingga tiga jam berjalan kaki dari tempat kami. Ia juga menyebut bahwa beberapa orang di kampungnya pernah mengonsumsi obat “merah” (istilah lokal untuk obat TBC), namun ia sendiri belum pernah didiagnosis TBC sebelumnya dan tidak memiliki kebiasaan merokok. Oleh sebab itu, kami menganjurkan agar pasien dan keluarganya tetap tinggal sementara di kampung tempat kami bertugas. Kami memberikan dua pot untuk pengambilan dahak dengan metode “Sewaktu–Pagi”.
Melihat kondisi pasien yang cukup kritis, kami segera merujuknya ke RSUD di kabupaten keesokan harinya karena ada pesawat yang menuju kota. Kami menyiapkan formulir TB-05 dan surat rujukan, serta menghubungi petugas penanggung jawab program TBC di RSUD agar pasien bisa langsung ditangani setibanya di sana.
Lima hari kemudian, kami mendapat kabar bahwa hasil dahak pasien terdeteksi kuman TBC dan sensitif terhadap rifampisin. Ia pun langsung memulai pengobatan di RSUD. Setelah menjalani pengobatan selama satu bulan di kabupaten, pasien menyampaikan keinginannya untuk kembali ke kampung karena terkendala biaya untuk transportasi dari rumah ke RSUD dan jarak yang jauh. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, pihak RSUD menghubungi kami dan menunjuk kami
sebagai Pengawas Minum Obat (PMO). Kami menyetujui penugasan tersebut.
Sebulan kemudian, Tn. B kembali ke kampung dan datang ke klinik kami. Saat itu, kondisinya sudah jauh membaik. Batuknya mulai jarang, berat badannya naik dari 46 kg menjadi 58 kg, dan ia sudah bisa berjalan tanpa bantuan. Kami memberinya obat untuk 10 hari dan mengatur agar ia kembali ke klinik satu hari sebelum obat habis. Obat untuk fase awal pengobatan dikirimkan secara bertahap dari RSUD kepada kami, dan kamilah yang mengatur pendistribusiannya serta pemantauan langsung kepada pasien.
Seiring berjalannya waktu, Tn. B menjalani pengobatan dengan disiplin, kooperatif, dan penuh semangat. Saat ia datang ke klinik, kami menanyakan kondisinya. Tn. B mengatakan ia merasa lebih sehat dan sangat senang karena sudah sampai di tahap ini dan juga Tn. B tidak pernah absen dari kontrolnya. Setelah enam bulan pengobatan, hasil pemeriksaan akhir menunjukkan bahwa pasien sudah negatif dari kuman TBC dan dinyatakan tuntas pengobatannya.
Refleksi Pribadi
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa menjadi perawat muda di daerah terpencil bukan hanya soal memberikan obat atau memasang infus, tetapi juga tentang keberanian, empati, dan berserah penuh pada Tuhan. Saya menyadari bahwa keberhasilan pengobatan tidak hanya bergantung pada ketersediaan fasilitas kesehatan, tetapi sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang manusiawi, pendampingan yang sabar, serta komunikasi terapeutik yang baik antara tenaga perawat dan pasien.
Saya juga belajar bahwa di tengah segala keterbatasan, harapan dan kesembuhan tetap bisa diwujudkan. Pengalaman bersama Tn. B mengajarkan saya bahwa kesembuhan sejati terjadi ketika ada kerja sama, semangat juang, dan keyakinan bahwa Tuhan turut bekerja dalam setiap prosesnya. Tuhan yang memberi kekuatan bagi kami dalam merawat, dan Tuhan pula yang memberkati tubuh pasien untuk menerima setiap obat dan makanan yang mendukung kesembuhannya.
Bagi Tn. B, dan banyak pasien lainnya, sembuh adalah Anugerah. Tapi lebih dari itu, mereka adalah pejuang yang bertahan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk keluarganya, dan kampungnya. Dan bagi kami, yang mengabdi dalam sunyi, mereka bukan sekadar pasien—mereka adalah guru kehidupan.
Terima kasih sudah bertahan, para pejuang dan pemerjuang TBC. Kalian mengajarkan kami arti sebenarnya dari harapan.
Oleh: Semuel (Awingga) - Karya terpilih dalam Kisah Kasih Submission
Комментарии