top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Bersama Kemenkes RI, STPI dan Global TB Caucus Selenggarakan Pertemuan TBC Nasional

Saksikan relainya disini!


Sepanjang tahun 2020, komitmen Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan TBC dapat dikatakan tetap kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024 dan berlangsungnya proses perumusan Peraturan Presiden tentang percepatan eliminasi TBC, hadirnya potensi dampak COVID-19 terhadap penanggulangan TBC nasional berdampak pada dibutuhkannya upaya penanggulangan TBC yang lebih kuat. Upaya tersebut membutuhkan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari eksekutif dan legislatif, sektor swasta, dan komunitas.


Dalam rangka memperkuat upaya multipihak dalam penanggulangan TBC di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, Stop TBC Partnership Indonesia (STPI), dan Global TBC Caucus (GTBCC) menyelenggarakan diskusi daring multipihak bertajuk “Pertemuan Virtual TBC Nasional 2020” pada tanggal 26 November 2020. Pertemuan ini dihadiri oleh pemerintah eksekutif dan legislatif, sektor swasta, dan komunitas untuk menyelaraskan gagasan dan praktek baik dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia.


Pertemuan ini diawali oleh pesan-pesan pengantar dari Heny Akhmad (Direktur Eksekutif STPI) yang menyampaikan bahwa selain menyelaraskan gagasan dan praktek baik berbagai pemangku kepentingan dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia, berbagai pandangan yang terkumpul dalam pertemuan ini juga akan dibagikan pada pertemuan “Asia Pacific TBC Summit 2020” pada tanggal 3 Desember 2020 untuk mencari hal-hal apa saja yang dapat dikolaborasikan di tingkat regional dalam upaya eliminasi TBC. Pesan-pesan pengantar dari Direktur Eksekutif STPI tersebut dilanjutkan oleh pesan-pesan pembuka dari drg. Putih Sari (Anggota Komisi IX DPR RI). Beliau menyampaikan bahwa,


"Di tahun 2021, DPR bersama pemerintah telah mendorong kenaikan anggaran di 2021 menjadi 2,7 trilyun (3x lipat dari budget program TBC tahun sebelumnya). Ini masih ada gap, karena menurut WHO, pendanaan TBC di Indonesia membutuhkan 366 juta USD. 30% sudah didanai APBD, 27% bantuan internasional, dan sisanya masih ada gapnya. Distribusi anggaran ini paling banyak di Kemenkes. Semoga dapat dimanfaatkan secara maksimal dan efektif."


Selain menjelaskan peningkatan anggaran penanggulangan TBC di Indonesia tahun 2021, drg. Putih Sari juga menyebutkan bahwa penyelesaian perumusan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) perlu menjadi prioritas, mengingat target eliminasi TBC di Indonesia akan jatuh tepat 10 tahun dari sekarang. Diterbitkannya Perpres tentang Penanggulangan Tuberkulosis ini diharapkan dapat membuat penanggulangan TBC menjadi lebih komprehensif, berkesinambungan, dan dilaksanakan dengan pendekatan-pendekatan multisektoral.


Setelah pesan-pesan pembukan disampaikan drg. Putih Sari, pertemuan dilanjutkan dengan paparan dari Pungkas Bahjuri Ali (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kementerian PPN/Bappenas). Beliau menjelaskan bahwa,


"Pelayanan kesehatan di era COVID-19, termasuk TBC, yang penting adalah digitalisasi informasi, baik di sistem informasi dan di pelayanan. Kedua hal ini perlu disinkronisasikan."


Sinkronisasi digitalisasi informasi di ranah sistem informasi dan layanan ini sesuai dengan arah kebijakan RPJMN 2020-2024 adalah meningkatkan pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta, terutama penguatan pelayanan kesehatan dasar dengan mendorong peningkatan upaya promotif dan preventif, didukung inovasi dan pemanfaatan teknologi.


Hadirnya pandemi COVID tidak disangkal telah menjadi hambatan dalam penanggulangan TBC di Indonesia. Setiawan Jati Laksono (WHO Indonesia) menjelaskan bahwa bila pada pandemi saat ini terdapat penurunan kasus sebanyak 50%, maka upaya penanggulangan TBC di Indonesia akan kembali ke tahun 2012, di mana terdapat 1,85 juta orang meninggal akibat TBC. Oleh karena itu, beliau berpendapat bahwa,


"Untuk mencapai eliminasi di tahun 2030, perlu upaya yang sedemikian keras di titik-titik yang diharapkan. Misalnya, hingga tahun 2020 kita bisa mengoptimalkan semua tools, mengintegrasikan program dengan UHC, ini bisa menurunkan 2-4% per tahun. Kita perlu mengeluarkan tools baru seperti vaksin dan obat baru. Kalau kita tidak investasi di awal, investasi di 2030 akan lebih besar lagi."




Menyambung paparan WHO Indonesia, Muhammad Budi Hidayat (Plt. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan) menjelaskan bahwa adanya pandemi COVID-19 justru menjadi momentum bagi peningkatan upaya penanggulangan TBC. Hal ini disebabkan seluruh Pemerintah Daerah bersedia untuk fokus menanggulangi COVID-19, seharusnya tidak terkecuali juga program prioritas nasional seperti TBC, HIV, dan Imunisasi.


Plt. Dirjen P2P memaparkan bahwa protokol Layanan TBC dalam masa Pandemi sudah disampaikan kepada seluruh kepala Dinas kesehatan untuk menjadi panduan pelaksanaan, yang intinya bahwa kabupaten/kota perlu membuat rencana kontigensi yang mencakup :

  1. Layanan TBC tidak boleh dihentikan karena jika putus berobat akan menjadi Resistan Obat dan akan menularkan kepada yang kontak

  2. Rencana kebutuhan obat TBC dan logistic lainnya termasuk masker dengan berbagai pertimbangan kondisi yang terjadi.

  3. Mapping dan penunjukan fasyankes rujukan TBC RO sementara (terpisah dengan fasyankes COVID-19) yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Kesehatan setempat.

  4. Mapping dan penunjukkan faskes lain untuk layanan laboratorium dalam rangka diagnosis TBC yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Kesehatan setempat, apabila jejaring yang lama perlu dilakukan penyesuaian akibat penanganan COVID-19 di wilayah tersebut.

  5. Rencana untuk memantau pengawasan minum obat pasien TBC menggunakan teknologi digital atau nomer WA, hotline sesuai dengan kemampuan setempat

  6. Mapping dalam pelibatan komunitas setempat untuk pendampingan pasien

Upaya penanggulangan TBC di Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga melibatkan banyak pihak, salah satunya sektor swasta. Mewakili sektor swasta, Uray Camila Insani (Country Public Health Manager, Johnson & Johnson) memaparkan bahwa di Indonesia terdapat koalisi industri yang bergerak khusus dalam penanggulangan TBC, mengingat mayoritas populasi yang terpapar TBC berada pada usia produktif. Adanya koalisi industri ini diharapkan dapat menciptakan situasi zero TBC at workplace.


"Salah satu yang dilakukan pada 2017 adalah kompetisi vlog, didasarkan pada hasil survey cara masyarakat mengakses informasi. Banyak orang yang mengetahui eksistensi TBC, tapi tidak aware atas resiko kalau mereka terpapar. Kompetisi vlog ini tidak hanya menyebarkan materi satu arah, tetapi masyarakat dapat lebih terlibat dalam membuat dan menyebarkan materi tentang TBC," papar Uray.


Selain kurangnya kesadaran masyarakat atas keberadaan penyakit TBC, hal lain yang menjadi tantangan dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia adalah adanya stigma terhadap pasien dan penyintas TBC. Budi Hermawan (Direktur Eksekutif POP TBC) mengemukakan bahwa,


"Berdasarkan dokumentasi LBH Masyarakat pada tahun 2017, masalah yang paling banyak terjadi adalah ditolak untuk mendapatkan perawatan. Alasan penolakannya berbagai macam dan seringkali didasarkan oleh label negatif tentang penyakit TBC. Namun beberapa korban juga tidak mengetahui dengan jelas alasan penolakan yang membuat sulit untuk diketahui keberadaan stigma dalam proses pelanggaran HAM tersebut."


Guna menjawab permasalahan stigma atas penyakit TBC, Budi Hermawan menerangkan bahwa terdapat tiga intervensi kunci dalam peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multisektor lainnya dalam eliminasi TBC yang dapat dijalankan, yakni: 1) memperbaiki mekanisme pemberian umpan balik masyarakat terhadap kualitas layanan TBC di fasyankes; 2) menjamin mekanisme umpan balik kepada masyarakat untuk merespon umpan balik dari masyarakat terdampak TBC; 3) pengurangan stigma dan diskriminasi pada populasi resiko tinggi TBC dan populasi rentan.


Dari hasil diskusi dan penjelasan-penjelasan para narasumber dalam Pertemuan Virtual TBC Nasional tersebut membuahkan tiga poin kesimpulan, yaitu Indonesia telah memiliki perencanaan dan visi yang jelas, khususnya tentang TBC. Tetapi, untuk mewujudkan visi dan misi tersebut ke dalam aksi yang nyata yang membawa perubahan dan tidak hanya dipaparkan dalam bentuk dokumen serta diskusi-diskusi, kita dapat mewujudkannya dengan reformasi sebagai salah satu kunci, tidak cukup business as usual. Selain itu, kita harus selalu melakukan inovasi dan kajian supaya dapat terlihat kunci-kunci perubahan, antara lain keterlibatan multisektoral yang akan menjalankan perannya masing-masing sehingga puzzle yang sudah ada menjadi puzzle yang tersusun, saling melengkapi, saling mendukung, dan saling bersinergi, baik dari pihak Pemerintah eksekutif dan legislatif, swasta, dan kelompok masyarakat.


Unduh materi paparan disini


98 tampilan0 komentar

コメント


Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page