top of page
Single Post: Blog_Single_Post_Widget

Advokasi Penyamarataan Kualitas Pelayanan TBC di Fasilitas Kesehatan Pemerintah dan Swasta


(Dari kiri ke kanan (depan): dr. Henry Diatmo, MKM; dr. Pandu Harimurti, MPPM; dr. Imran Pambudi, MPHM; dr. Nurul H.W Luntungan, MPH; Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr. PH; dr. Kurnia Putra. Dari kiri ke kanan (belakang): Nuri Yani; Zaelani M Hakim; Erman Varella; Nurul Badriah; Aditya Bagus; Arief H. Aji)

Jakarta - Stop TB Partnership Indonesia (STPI) telah melaksanakan kegiatan kick off meeting project advokasi Public Private Mix (PPM) pada Selasa, 7 Februari 2023 di Manhattan Hotel Jakarta. Acara tersebut diikuti oleh 34 peserta yang hadir secara daring dan 9 peserta yang hadir secara luring. Acara tersebut juga dihadiri oleh Direktur P2PM Kemenkes RI dr. Imran Pambudi, M.P.H.M yang membuka acara tersebut dan dr.Tiffany Tiara Pakasi selaku Koordinator Tim Kerja TBC.


Kegiatan tersebut merupakan awal dari project STPI untuk advokasi implementasi strategi PPM di Indonesia. Berdasarkan WHO Global TB Report tahun 2022, diperkirakan terdapat 969.000 kasus TBC di Indonesia, sehingga menempatkannya pada posisi kedua di dunia. Indonesia mengalami peningkatan dalam mengatasi gap pengobatan TBC dan mampu merangsang notifikasi kasus pada tahun 2018 dan 2019 dengan cepat. Namun, pandemi Covid-19 memberikan dampak negatif terhadap progresnya yang menyebabkan penurunan angka notifikasi TBC sebesar 31% dibanding pada tahun 2019.


Terdapat berbagai macam usaha yang dilakukan Indonesia untuk mengatasi cakupan pengobatan dengan memperbaiki akses perawatan dan pencegahan TBC, termasuk melibatkan para penyedia sektor swasta, peningkatan penggunaan tes cepat molekuler (TCM), mengimplementasi sistem transportasi spesimen, dan meningkatkan jaminan kesehatan universal. Berdasarkan Patient Pathway Analysis yang dilakukan pada tahun 2017, 74% pasien TBC di Indonesia pada awalnya mencari pengobatan di pelayanan kesehatan swasta. Rasio pencarian pengobatan di fasyankes swasta paling banyak ada di farmasi/apotek (52%), DPM/klinik swasta (19%), dan RS Swasta (3%), yang berada di luar sistem surveilans Kementerian Kesehatan sehingga kasus yang ditemukan tidak tercatat dan terlaporkan.


Intervensi inovatif untuk melibatkan sektor swasta sudah beroperasi di Indonesia dengan dukungan dari USAID yang diimplementasikan oleh FHI 360 dan Global Fund yang diimplementasikan oleh Yayasan KNCV Indonesia dan PDPI selain inisiatif lokal melalui satuan pemerintahan daerah. Model PPM TBC ini sudah sangat menjanjikan. Bank Dunia (World Bank) memberikan dukungan dalam memperkuat inisiatif yang sedang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program Bank Dunia fokus pada perbaikan akses penyedia perawatan primer untuk obat-obatan dan diagnostik TBC yang disediakan gratis di fasilitas-fasilitas publik, serta mengembangkan dan membuat mekanisme insentif untuk menjawab keterbatasan dalam alur kerja PPM yang telah berjalan melalui penguatan peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).


Berdasarkan laporan tersebut hal yang mengkhawatirkan adalah adanya perbedaan tindak lanjut yang diberikan dari fasilitas kesehatan (fakses) swasta dan faskes pemerintah. Contohnya adalah faskes swasta tidak melaporkan penemuan kasus TBC ke Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB). Diketahui bahwa terdapat 96% kasus TB tidak dilaporkan dari DPM/Klinik/Laboratorium sehingga notifikasi kasus TBC terlihat rendah. Selain itu, faskes swasta tidak memberikan fasilitas untuk memfollow up kasus TBC yang mangkir atau lost to follow up (LTFU). Maka dari itu, STPI bertujuan untuk melakukan project advokasi PPM ini yang diharapkan dapat menyamaratakan mekanisme perawatan dan pelaporan serta tindak lanjut kasus TBC yang berpusat pada pasien melalui kebijakan berbasis bukti.


Paparan Nurul Badriyah, SKM, MKM selaku Tim Kerja TBC Kemenkes RI menunjukkan bahwa terdapat 14% kasus TBC yang tidak dievaluasi atau pindah,“Hal tersebut dapat terjadi karena pasien TBC biasanya tidak terhubung kepada komunitas sehingga kasus LTFU cukup tinggi terjadi di faskes swasta”,ujarnya. Tak hanya itu, beliau juga menyampaikan bahwa insentif untuk relawan kesehatan komunitas sebaiknya diperkuat karena kasus LTFU terjadi paling banyak di RS pemerintah (14%) yang sudah ada komunitasnya dibandingkan RS swasta (12%), “Insentif ini seharusnya kita buatkan kebijakannya agar tidak bergantung terus dengan dana Global Fund” tambahnya.


Project PPM advokasi yang STPI rancang akan diterapkan di daerah prioritas Kementerian Kesehatan untuk memfasilitasi dan memperkuat project PPM yang sebelumnya sudah dan sedang dijalankan oleh Kemenkes RI. Terdapat 7 wilayah prioritas yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.


Dalam kick off meeting ini juga STPI memaparkan terkait akar masalah dan strategi kunci serta rekomendasi untuk melangsungkan advokasi PPM selama 1, 5 tahun kedepan. Terdapat 5 akar masalah yang didapatkan dari hasil wawancara mendalam yang telah dilakukan , diantaranya:

  1. Implementasi project DPPM oleh pemerintah daerah belum optimal

  2. Keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM untuk memberikan layanan TBC yang sesuai standar

  3. Akses pada logistik, diagnosis dan obat yang standar masih terbatas

  4. Sistem reward untuk menyediakan layanan TBC yang berkualitas masih terbatas

  5. Sistem informasi yang terfragmentasi

Berdasarkan hasil akar masalah tersebut kemudian dilakukan diskusi untuk menentukan strategi kunci dan rekomendasi yang dapat dilakukan STPI selama 1,5 tahun kedepan dalam prorject advokasi PPM ini. Proses diskusi melibatkan peserta yang hadir secara online dan offline yang dipandu oleh dr. Nurul H.W Luntungan, MPH selaku Ketua Pengurus Yayasan STPI. Peserta diminta untuk memberikan pandangannya terkait hal prioritas utama 1, 2 dan 3 sebagai langkah dalam menerapkan project PPM.


Beberapa usulan tersebut kemudian akan dilakukan penetapan prioritas dan strategi kunci yang akan dilaksanakan pada 24 Februari 2023 nanti. Namun sebelumnya pengelola project PPM STPI telah merumuskan usulan strategi kunci, diantaranya:

  1. Pemerintah Daerah perlu membuat regulasi wajib lapor untuk memperkuat keterlibatan fasyankes dalam project penanggulangan TBC;

  2. Penguatan pembiayaan yang mendukung implementasi DPPM dan meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan TBC yang berkualitas dan sesuai standar;

  3. Mendorong ketersediaan SDM yang cukup dan tepat untuk mendukung implementasi DPPM;

  4. Penguatan peran komunitas dalam implementasi DPPM.

Nantinya usulan tersebut akan disesuaikan dengan hasil diskusi pada kick off meeting dan pastinya akan menyesuaikan hal-hal prioritas dari project PPM. Selain itu, harapannya project ini bisa berjalan dengan baik sehingga dapat mendukung pemerintah untuk saling berkontribusi eliminasi TBC 2030.


277 tampilan0 komentar

Comments


Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

bottom of page